Wawancara
Wawancara
"Selamat siang Nona West. Apakah anda tidak tersesat?"
"Ah tidak. Tempat ini sangat mudah ditemukan." Jawab Chleo tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu. Perkenalkan namaku Emily Harvey. Silahkan duduk."
Setelah saling berjabat tangan, Chleo mengikuti arahan Emily dan duduk berseberangan dengannya.
Awal mulanya mereka berbasa-basi sebentar untuk mengurangi ketegangan Chleo. Biar bagaimanapun ini adalah wawancara pertama resminya. Mau tidak mau Chleo sangat gugup. Namun Emily memiliki karismanya sendiri sehingga membuat Chleo tidak terlalu gugup dan merasa tenang bersama wanita itu.
Emily juga meminta contoh-contoh portfolio yang dibawa Chleo. Setelah mengecek hasil portfolionya, Emily tersenyum lebar.
"Kapan kau akan masuk kuliah lagi?"
"Sekitar pertengahan Maret."
"Baiklah. Kau bisa mulai bekerja disini Senin besok selama tiga minggu. Setelah itu akan ada liburan Natal dan akhir tahun selama satu minggu. Barulah kau kembali bekerja hingga akhir February. Bagaimana?"
"Benarkah? Aku akan melakukannya."
"Kebetulan sekali, kami akan mengadakan gala show pada hari valentine. Mungkin kau bisa menjadi asisten salah satu designer kami untuk menambah wawasanmu mengenai mode zaman sekarang."
"Terima kasih banyak."
"Sama-sama. Kami senang memilikimu disini." Ucap Emily sekali dengan tulus.
Chleo menyusul Emili yang bangkit berdiri untuk berjabat tangan sekali lagi sebagai tanda berakhirnya sesi wawancara. Namun seketika dia teringat akan sesuatu.
"Apakah aku boleh bertanya sesuatu?"
"Ya, silahkan."
"Apakah perusahaan ini tidak mendapatkan sebuah sayembara larangan atau sebagainya?"
"Ah, maskudmu Flex grup yang memberikan sayembara larangan untuk mempekerjakan Chleo West?"
Chleo menelan ludah dengan susah payah. Ternyata perusahaan ini juga mendapatkan instruksi larangan itu!
"Kami memang mendapatkannya. Tapi CEO kami bersikeras menerimamu disini. Jadi kami hanya mengikuti keinginannya."
CEO? Maksudnya Dexter? Tapi itu tidak mungkin. Dexter baru saja lulus kuliah, mana mungkin langsung jadi CEO perusahaannya. Yah, mungkin itu sudah menjadi tradisi keluarga Hammilton?
Tidak peduli apapun itu, kenyataan dia bisa bekerja disini bukan karena kerja kerasnya. Tapi karena koneksi yang dimilikinya. Memikirkan hal ini membuatnya menjadi murung.
Hanya sekali saja. Hanya untuk satu kali Chleo ingin hidup sebagai anak normal. Dia ingin tahu batas kemampuannya tanpa menggunakan nama Regnz. Dia tidak ingin selamanya mengandalkan kedua orangtuanya dan pamannya.
Tapi ternyata betapa sombongnya dia. Tanpa nama Regnz, dia bukanlah apa-apa. Dia tetap membutuhkan sebuah koneksi untuk masuk ke sebuah perusahaan.
"Nona West, anda tidak tampak senang?" Emily yang peka mulai menyadari perubahan ekspresi Chleo.
"Ah, tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah menerimaku. Sampai jumpa." Chleo menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat lalu berbalik pergi. Namun sebelum dia sempat membuka pintu ruangan, Emily memanggilnya kembali.
"Nona West, CEO kami berpesan padaku, aku bisa menolak anda jika seandainya saya berpikir anda tidak layak bekerja disini. Saya menerima anda karena saya melihat anda sangat berbakat di bidang ini dan akan sangat cocok bekerja sama dengan kami."
Seketika dada Chleo bergemuruh. Darimana wanita ini mengetahuinya? Darimana wanita ini mengerti isi hatinya?
"Karena itu, anda tidak perlu bersedih karena masuk kemari dengan menggunakan koneksi. Anda berhasil magang disini karena anda memiliki potensi itu."
Chleo tidak tahu harus bicara apa. Saat ini hatinya kembali dilanda rasa kegembiraan yang luar biasa. Senyumannya kembali melebar dan rona mukanya kembali ceria. Sekali lagi dia mengucapkan terima kasih, tapi kali ini dengan nada bersemangat membuat Emily turut tersenyum bahagia karenanya.
"Anak itu memiliki kekuatan mempengaruhi perasaan orang lain." Monolog Emily.
Tidak diragukan lagi, Emily langsung suka akan karakter Chleo.
Chleo langsung menuju lift dan turun ke kafe dimana Axel dan Diego tengah menunggunya. Kedua pemuda itu masih saling berbicara satu sama lain hingga lift yang dinaiki Chleo terbuka.
Posisi tempat duduk mereka dengan pintu lift cukup dekat, sehingga Axel dan Diego bisa langsung melihat siapa saja yang keluar masuk lift.
Begitu pintu lift terbuka, Chleo langsung bisa melihat kedua pria tersebut dan sepasang mata coklatnya bertautan dengan sepasang mata biru Axel.
Axel menopang dagunya diatas baku tangannya yang sikunya diletakkan diatas meja. Dia sangat menikmati penampilan Chleo saat ini. Gadis itu tampak sedang melakukan catwalk ketika pintu lift terbuka dan berjalan melewati pintu lift tersebut.
'Cantik sekali.' Pujinya dalam hati.
"Aku tahu kakakku sangat cantik."
Axel tersedak dengan canggung mendengar suara Diego yang begitu tiba-tiba. Untuk sesaat dia lupa kehadiran Diego di sebelahnya. Dia sama sekali tidak menyadari baru saja dia menyuarakan pujiannya.
"Karena itu aku tidak pernah membiarkannya diambil orang yang tidak benar-benar menyayanginya." Suara Diego lebih terdengar seperti sebuah ancaman.
Anehnya Axel sama sekali tidak takut, dia juga tidak menantang. Malahan dia menyungging senyuman yang khas membuat Diego tidak berkutik.
Kenapa dia merasa orang ini malah bangga mendengar ancamannya?
Biasanya kaluau Diego mengintimidasi seorang pria, orang itu akan takut atau marah, malahan ada yang balik menantangnya. Tapi yang satu ini bukannya tersinggung atau marah, Axel malah terlihat bangga?
Diego hanya geleng-geleng saja.
"Bagaimana hasilnya?"
"Aku diterima. Mulai besok Senin aku akan bekerja disini!" seru Chleo yang sudah tidak bisa menyembunyikan gembiranya.
"Kalau begitu kakak akan menraktirku makanan enak?"
"Baiklah. Ayo kita makan, aku yang traktir."
Axel tertawa melihat tingkah antusias Chleo. Kemudian mereka sama-sama makan siang. Chleo merasa heran dengan adiknya yang sudah tidak bersikap sinis. Tapi dia tidak terlalu memperdulikannya, lagipula dia malah merasa senang jika seandainya adiknya bisa berhubungan baik dengan Axel.
Selesai makan siang bersama, Diego mengajak keduanya datang ke arena permainan khusus anak remaja.
Yah, jangan salahkan Diego. Dia masih remaja dan sangat suka bermain. Chleo yang juga dulu sangat suka bermain menurutinya namun ragu apakah Axel akan merasa keberatan. Chleo tidak tahu berapa usia Axel sekarang Axel, dia belum sempat bertanya. Tapi setidaknya pemuda itu pastilah lima tahun diatasnya.
Chleo sama sekali tidak tahu kalau jarak usia mereka jauh lebih dari apa yang dikiranya.
Di luar dugaan, Axel bersedia mengikuti mereka dan memasuki arena tembak. Mereka memasukkan dua buah koin yang telah dibeli lalu bersiap-siap untuk menembak zombie yang bergerak di dalam monitor besar.
Kedua pemuda itu cekatan sekali dalam memainkan alat tembak mereka. Skor merekapun saling menyusul satu sama lain.
"Wah, ini pertama kalinya aku bertemu orang yang sanggup menyaingiku." gelak Diego lepas. Kini pertahanannya runtuh sempurna dan telah menganggap Axel seperti kawannya.
Chleo tertawa kecil melihat perubahan sikap Diego yang begitu cepat.
"Chleo, kau mau ikut bermain?" Axel menawarkan Chleo untuk mengambil gilirannya setelah selesai tiga ronde permainan.
"Tidak. Aku tidak begitu pandai menembak."
"Aku akan mengajarimu."
"Baiklah."
Chleo menerima pistol mainan bewarna hitam yang ukurannya cukup besar di telapak kedua tangannya. Dia mencoba memutar, memencet apapun yang dia bisa temukan.
"Bukan seperti itu. Tapi seperti ini."
"!?"
Deg…deg..deg.degdegdegdegdegdegdeg