Stanley Yang Manis
Stanley Yang Manis
"Selenka, bagaimana?"
"Aku sudah bisa melihat sekarang."
"Coba kau cek pergerakannya."
"Oke." seru Selenka dengan nada ceria di headset bluetoothnya.
Tidak lama kemudian, kamera tersebut bergerak ke kanan, kiri, atas dan bawah seolah ingin melihat apapun yang bisa dijangkaunya.
"Bagaimana sekarang?"
"Sudah oke. Aku bisa melihat semuanya."
"Baiklah, dengan ini tugas kita sudah..."
Dug!
Kalimatnya terpotong saat Stanley merasa ada sesuatu yang menabrak punggungnya. Stanley berbalik untuk melihat pelaku yang telah melemparinya bola salju.
Disana dia melihat istrinya ditengah-tengah dua wanita yang kini memasang tatapan jahil. Mereka kompak menunjuk ke arah Meisya seolah memberitahunya pelaku yang melemparinya barusan adalah Meisya.
Melihat kebingungan Meisya membuat Stanley sadar, istrinya sedang dikerjai oleh dua sahabatnya.
Ah, dia merindukan ekspresi kebingungan dan frustrasi dari istrinya. Karena surat perjanjian mereka, Stanley berulang kali menahan diri untuk tidak menindasnya.
Kini, kedua wanita itu yang mengerjai Meisya, mana mungkin dia melewatkan kesempatan emas ini.
"Meimei, apa kau baru saja melempariku?"
"Huh? Ti.. bukan." Meisya bingung sekaligus takut akan apa yang akan dilakukan Stanley setelah ini.
Seperti yang diduganya, Stanley berjalan menuju tumpukan salju dan melakukan hal yang sama seperti Tanya.
"Asal kau tahu saja, lemparanku tidak pernah meleset."
Meisya membelalak lebar ketika Stanley hendak menyerangnya. Dengan cekatan dia langsung menghindar. Alhasil, bola salju tersebut bukannya mengenai Meisya tapi malah mengenai Tanya.
"Hei!" Tanya tidak terima dan langsung membuat bola yang lain dan melemparnya ke arah Stanley.
Stanley segera melompat ke samping membuat bola lemparannya mengenai Colen yang masih sibuk dengan laptopnya.
"Sejak kapan kita bermain perang salju?" tanya Colen penasaran.
"Sejak sekarang!"
Dug! Sekali lagi Colen terkena lemparan bola salju. Kali ini berasal dari Angel.
Dan terjadilah beberapa bola salju melayang di tengah udara. Bahkan Joan yang sedang bersantai ikut bergabung juga dengan mereka.
Anehnya, bola lemparan salju dari Stanley selalu meleset saat membidik Meisya. Namun tepat sasaran jika targetnya adalah orang lain.
"Stanley, kau bilang kau tidak pernah meleset. Bidikanmu payah sekali." sahut Meisya cekikikan sembari melempar bola salju ke arah Stanley.
"Kau curang. Kau bergerak terus." jawab Stanley membuat semuanya kecuali Meisya melongo.
Sedetik kemudian, empat bola salju serempak melayang ke arah Stanley. Empat bola tersebut berasal dari Tanya, Angel, Colen serta Joan. Mereka merasa alasan yang diberikan Stanley sangat konyol membuat tangan mereka merasa gatal sekali untuk menyerang Stanley.
"Hoo? Kalian berani menyerangku?"
Mendengar suara Stanley yang terdegar menantang membuat empat orang tertawa. Kemudian perang bola salju menjadi lebih heboh lagi. Apalagi disaat Tanya serta Angel sibuk melempar bola ke arah Meisya yang ternyata malah dilindungi Stanley.
Tanya serta Angel saling berpandangan dengan penuh arti. Kini mereka sudah menemukan jawaban atas pertanyaan mereka sebelumnya.
Perang bola salju masih berlanjut hingga Meisya memutuskan untuk menyerah. Hanya Meisya seorang yang tidak bisa menyamai stamina lima orang yang begitu besar. Stanley menurutinya dan menyudahi permainan mereka.
Meisya segera mengajak Tanya serta Angel untuk masuk ke dalam. Dia merasa haus luar biasa akibat permainan tadi.
"Jadi, bidikanmu payah huh?" ledek Joan berusaha menggoda Stanley ketika mereka berjalan di belakang para wanita.
"Aku tidak pernah melihat lemparan bola yang sangat menyedihkan seperti itu." sambung Colen.
"Dan entah kenapa permainan tadi berubah menjadi seorang ksatria yang berusaha melindungi sang tuan putri?"
"Hm. Menarik sekali."
Stanley hanya memutar matanya dengan malas mendengar percakapan Joan dan Colen yang sedang meledeknya. Dia menyusul para gadis masuk ke dalam rumah setelah membereskan beberapa laptop di teras depan.
Selain Meisya, semua orang tahu bahwa Stanley tidak pernah meleset dalam membidik sasaran. Dia adalah salah satu penembak terbaik setelah Kinsey. Karena itulah mereka sangat tahu, Stanley memang sengaja tidak mengenai Meisya saat melempar bolanya. Hal ini membuat lainnya tidak melewatkan kesempatan emas untuk menggoda Stanley.
Kemudian mereka semua mulai berpamitan satu per satu meninggalkan pasangan suami istri berduaan didalam rumah mereka.
Justru hal inilah yang membuat Meisya semakin gugup. Kalau di apertemen, dia masih bisa sembunyi di kamarnya atau mengundang Angel datang menemaninya.
Tapi kini... kamarnya ada di lantai dua, dan juga... rasanya tidak sopan kalau dia langsung melarikan diri ke kamarnya begitu teman-temannya pulang.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Meisya semakin menundukkan kepalanya mendengar pertanyaan Stanley.
"Tidak ada." jawabnya dengan sangat pelan nyaris seperti berbisik.
Tanpa disadarinya matahari terbenam dengan sempurna. Ruangan yang tadinya masih ada sedikit cahaya kini menjadi sangat gelap. Meisya bertanya-tanya apakah Stanley sengaja tidak menyalakan lampu rumah? Apakah Stanley ingin menakutinya lagi?
Tidak mungkin. Pria itu berjanji tidak akan menindasnya lagi. Jadi tidak mungkin, iya kan? Entah kenapa Meisya kembali menjadi ragu.
Tiba-tiba saja Meisya mendengar alunan musik lembut yang romantis. Lalu ada beberapa lampu kecil yang cantik menyala di tiap sudut ruangan. Suasana disekitarnya terkesan meneduhkan, bahkan mungkin... romantis?
"Kau mau berdansa denganku?"
Jantung Meisya berdebar kencang melihat uluran tangan suaminya. Belum lagi senyuman pria itu sangat menawan. Mungkin karena cara pembawaan pria itu yang membawa kesan damai, Meisya bergerak secara refleks merespon uluran tangan suaminya.
Tangannya yang kini berada diatas telapak tangan Kinsey digenggam erat oleh pria itu. Stanley menuntun tangan Meisya melingkar ke pinggangnya, sementara tangannya sendiri terpasang indah di dua sisi pinggang Meisya.
Stanley masih menjaga jarak untuk membuat Meisya merasa nyaman bersamanya. Dia ingin merengkuhnya erat kedalam pelukannya, tapi dia tidak mau Meisya mengira dia hanya menginginkan tubuhnya, karena itu dia menahan diri. Lagipula waktu yang mereka miliki masih panjang. Stanley tidak terburu-buru untuk memiliki istrinya secara utuh.
Stanley juga ingat akan peringatan Kinsey. Disaat dia memutuskan untuk menikah dengan Meisya, Stanley memberitahu Kinsey serta Tanya melalui kode enkripsi rahasia.
Kinsey segera ke Belanda menemuinya langsung dan memarahinya. Tidak seharusnya dia menikahi Meisya walau keadaan genting sekalipun. Awalnya, Stanley hendak membantahnya namun teringat kejadian enam tahun lalu.
Enam tahun lalu Kinsey baru akan menikmati waktunya sebagai seorang kakak setelah memberitahu Cathy bahwa keduanya adalah saudara kembar. Sayangnya waktu itu Cathy sedang bersedih karena kebenaran masa lalu yang menyakitkan.
Kemudian dipancing keluar rumah oleh musuhnya. Untungnya saat itu dia bertemu dengan Vincent. Tiba-tiba saja keduanya menikah ketika Kinsey menjemput Cathy kembali. Hal ini membuat Kinsey sangat marah karena merasa adiknya telah direnggut darinya bahkan sebelum dia menunjukkan kasihnya sebagai seorang kakak.
Kini dia menikah dengan Meisya tanpa pemberitahuan apapun. Jika seandainya Katie mengetahuinya setelah tahu kalau Meisya adalah adik kembarnya, sepertinya Stanley harus bersiap diri menghadapi amukan raja merah. Dia juga tidak akan bisa bersembunyi karena Tiffany sudah pasti bisa melacaknya tanpa mengedipkan mata.
Sekarang Stanley mulai menyesal. Kenapa waktu itu dia memberikan Tiffany pada Katie? Tentu saja dia tidak akan menyangka kalau dia akan jatuh hati pada adik kembar raja merah. Kalau seandainya dia tahu, mungkin dia akan berpikir ulang untuk memberikan Tiffany pada Katie.
"Stanley? Kau melamun."
Stanley tersenyum sebelum menjawab, "Itu karena aku terhanyut dengan matamu yang indah. Matamu jernih sekali seperti intan yang berharga."
Rona pipi Meisya memerah seketika. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar pujian dari Stanley. Dia bahkan sama sekali tidak mengira kalau Stanley bisa bersikap manis seperti ini?
Tidak, tidak. Bukan itu. Stanley sudah bersikap manis semenjak pria itu mengajaknya menikah. Hanya saja Meisya masih belum mempercayai akan sikap aneh Stanley sehingga dia tidak menyadarinya.
Jantung Meisya berdebar-debar dan dia sama sekali tidak berani memandang suaminya. Kini dia bertanya-tanya, apakah perubahan sikap Stanley mempunyai maksud tertentu? Apakah ini berarti dia boleh memiliki perasaan terhadap pria itu? Toh, status mereka sudah menikah sekarang. Pria itu juga tidak menginginkan cerai ke depannya. Jadi dia boleh memiliki perasaan pada suaminya kan?
Seharusnya boleh. Tidak salah kalau seorang istri mengagumi suaminya. Tapi.. tetap saja... Meisya masih merasa ragu.
Terakhir kali saat dia bertanya pada Stanley, jawaban yang diterimanya begitu menyakitkan. Bagaimana kalau hingga saat ini Stanley masih memiliki jawaban yang sama?
"Ada yang ingin kau tanyakan? Kau seperti orang yang banyak pikiran. Katakan saja." nada pada suara Stanley terdengar lembut membuat Meisya memberanikan diri untuk sekali lagi bertanya.
"Aku tahu aku pernah bertanya sebelumnya, tapi aku akan menanyakannya lagi."
"Hm. Tanya saja."
"Apa aku boleh menyukaimu?"
Stanley tersenyum lembut sekali membuat Meisya sulit bernapas karena debaran jantungnya semakin sulit dikendalikan.
Stanley menarik tangan kanan Meisya ke arah bibirnya untuk memberikan kecupan tegas di punggung tangannya.
Raut muka Meisya semakin merona merah. Stanley sudah sering bersikap manis padanya, tapi dia masih belum terbiasa. Entah kapan dia akan terbiasa menghadapi sikap kelewat manis dari suaminya ini.
"Apa ini bisa menjawab pertanyaanmu?"
Meisya mengerling kesekelilingnya sambil berusaha meredakan debaran jantungnya. Lalu Meisya menganggukkan kepala malu-malu. Dia juga menarik kembali tangannya yang masih digenggam Stanley sebelum menenggelamkan kepalanya didada pria itu untuk menyembunyikan wajahnya.
Senyuman Stanley semakin lebar mengetahui kini ketentuan nomor tiga dari Meisya sudah tidak dibutuhkan lagi. Dia tidak perlu meminta izin untuk sekedar bergandeng tangan atau memeluknya. Stanley tidak perlu menahan diri lagi untuk bersentuhan dengan istrinya.
Keduanya masih betah berdansa sambil berpelukan dalam diam meski sudah habis tiga putaran lagu romantis yang lembut.
Disaat Selenka hendak lanjut memutar lagu keempat, sebuah suara dering terdengar membuat keduanya terganggu.
Lain kali dia akan menyuruh Eleanor untuk memblokir semua panggilan yang masuk disaat dia sedang berduaan dengan Meisya. Stanley membuat catatan penting di dalam benaknya.
Stanley masih enggan bergerak dan masih ingin menikmati aroma wangi istrinya.
"Stanley, ada telepon."
"Biarkan saja."
"Bagaimana kalau penting?"
Stanley mendesah pasrah dan mulai melepaskan pelukannya dengan berat hati. Siapa sih yang menghubunginya malam-malam begini? Orang ini cukup keras kepala juga belum memutuskan panggilannya. Gerutu Stanley dalam hati.
"Halo?... Tunggu sebentar."
Stanley berbalik ke arah istrinya untuk mengucapkan selamat tidur dan membiakan istrinya kembali ke kamar. Begitu Meisya naik ke lantai dua, Stanley kembali pada penelponnya dengan wajah serius.
"Kau ingin aku melepaskan Peskhov? Kalau aku tidak mau?...." Stanley mendesah pasrah mendengarnya. "Baiklah. Sebaiknya dia memang bisa mengurusnya. Kalau sampai aku duluan yang bertemu dengan Alexsei, aku tidak akan melepaskannya. Lagipula, Tuan Besar Regnz, aku tidak tahu kau menjalin hubungan bisnis dengan Vasili Peskhov?"
Vincent yang berada di ujung saja tertawa kecil. "Kau akan mengetahuinya kalau kau bekerja di perusahaanku."
"Tidak, terima kasih. Aku suka dengan pekerjaanku sekarang."
"Baiklah, aku akan memberitahu Vasili mengenai ini. Dia yang akan mengurus Alexsei mulai sekarang."
Setelah memutuskan koneksi voice call mereka, Stanley segera menyuruh Audrey untuk tidak mengawasi pergerakan Alexsei Peskhov.