Peringatan Hunter
Peringatan Hunter
"Seseorang memberitahuku."
"Siapa?"
"Kenapa aku harus memberitahumu? Aku merasa kasihan jika dia harus menghadapi amukanmu. Kau pasti ingin menghukumnya."
"Tentu saja! Membocorkan rahasia penting tanpa persetujuan dari raja adalah tindakan pemberontakan. Dia akan dianggap berkhianat pada anggota kerajaan. Kau juga tidak berhak melindunginya! Cepat beritahu aku siapa yang membocorkan rahasia ini?"
Stanley menghela napas merasa kasihan pada 'pelaku utamanya'.
"Aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak mengungkapkan pelakunya. Aku tidak pernah mengingkari janjiku. Maaf aku tidak bisa memberitahumu."
"Hunter!" panggil Meisya dengan nada perigatan. Entah dari mana keberaniannya muncul untuk melawan dan mendebat Stanley. Setidaknya pria itu juga tidak terlihat marah atau kesal terhadapnya. Justru sebaliknya, pria itu bersikap seolah dia sedang bimbang dan kebingungan.
"Kalau kau mau memberitahuku siapa pelakunya, aku akan menyetujui dua persyaratanmu." ujar Meisya akhirnya.
"Benarkah?" Stanley menatap Meisya dengan penuh harap... tatapan yang tidak pernah Meisya ketahui kalau dimiliki Stanley.
"Benar. Lagipula, aku juga tidak suka kalau ada pasangan suami istri yang bercerai. Aku juga tidak suka ada perselingkuhan didalam rumah tangga. Jika kau ingin kesetiaanku sebagai seorang istri, aku bisa melakukannya. Kau juga harus melakukan hal yang sama."
"Tentu saja!" jawab Stanley dengan nada ceria dan senyuman lebar membuat Meisya tercengang.
Tunggu dulu, kenapa sekarang dia merasa dia sedang diarahkan mengikuti jalur keinginan pria itu?
"Karena kau sudah setuju, kau tidak boleh menariknya kembali." lanjut Stanley seolah ingin memastikan keputusan yang diambil Meisya.
"Tentu saja. Aku tidak akan menarik kembali apa yang sudah kuucapkan. Sekarang, beritahu aku siapa orangnya?" tuntut Meisya masih penuh dengan keberanian.
"Kau yakin ingin mengetahuinya? Kau tidak akan menyesal?"
"Untuk apa aku menyesal? Hentikan basa-basinya dan cepat beritahu aku!"
Mungkin karena Hunter yang bersikap lemah dan ragu, Meisya semakin berani memberi nada perintah dan menunjukkan kejengkelannya. Dia bahkan sama sekali tidak takut konsekuensi yang akan dihadapinya begitu ini semua selesai. Dia benar-benar melupakan siapa itu Hunter sebenarnya.
"Baiklah kalau kau masih memaksa." desah Stanley dengan berlebihan. "Coba aku tanya, selain kau, siapa lagi yang mengetahui persyaratan ini?"
"Ayahku dan raja sekarang."
"Kalau begitu sangat mudah mencari jawabannya. Ayahmu sudah lama tiada dan tidak mungkin beliau tiba-tiba muncul didalam mimpiku dan memberitahu akan hal ini kan?"
Meisya mengernyit mulai merasa tidak enak dengan kelanjutan jawaban Stanley.
"Sementara raja sekarang... jika kami memang bertemu, seharusnya dia sudah memenjarakanku di istana sekarang dan aku tidak akan berada disini. Lagipula apa untungnya memberitahuku hukum khusus mengenaimu? Lalu yang tersisa adalah..." Stanley yang sebelumnya masih dengan wajah biasa kini melirik ke arah Meisya dengan kilatan jahil.
Secara refleks, Meisya memundurkan tubuhnya ketika Stanley mendekat.
"Aku?" tanya Meisya ragu-ragu.
"Gadis pintar."
"Tidak mungkin! Aku tidak pernah memberitahumu. Kau bohong!"
"Selenka."
Begitu namanya terpanggil, Selenka memutar sebuah rekaman suara dan Meisya bisa mendengar suaranya sendiri bersama Stanley.
-
"Aku bisa minta apa saja?"
"Apa saja."
"Kalau begitu, aku ingin kau menikah denganku."
"Selenka, tadi dia bilang apa?"
"Tadi dia bilang dia ingin kau menikah dengannya."
"Kau tidak mau?... Hunter?"
"Meimei, kau setengah tidak sadar sekarang. Ucapanmu mulai melantur kemana-mana. Sebaiknya kau cepat tidur."
"Aku tidak mau. Bagaimana kalau kau pergi begitu aku tidur? Bagaimana kalau mereka menangkapku lagi? Bagaimana kalau aku terbangun di tempat asing lagi? Aku takut."
"Kau aman disini. Aku tidak akan kemana-mana. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu lagi. Jadi, sekarang tidurlah. Hm?"
"Kau begitu baik padaku, kenapa tidak mau menikah denganku? Kita bisa bercerai sewaktu-waktu jika kau tidak tahan denganku."
"Meimei, apa menurutmu pernikahan itu sebuah permainan? Kau tidak bisa mengatakan cerai begitu saja. Menikah sangat berbeda dengan berganti pakaian yang bisa dibuang lalu ganti yang baru."
"Orang lain bisa melakukannya."
"Aku tidak peduli dengan orang lain. Semua keluargaku hanya menikah satu kali seumur hidup mereka. Kalaupun aku akan menikah, aku ingin seperti mereka. Lagipula, kenapa tiba-tiba kau ingin menikah?"
"Hanya itu satu-satunya cara lepas dari nama Heinest. Jika aku menikah dengan orang pilihanku sendiri, secara otomatis, Heinest akan menghapus namaku dari silsilah keluarga."
Biiiiiiip
-
Jelas sekali masih ada kelanjutan dari rekaman itu, tapi sesuai perintah Stanley, Selenka segera menghentikan rekaman kemarin malam tepat waktu.
Meisya terduduk lemas begitu mendengar pembicaraan antara dirinya dan Stanley. Dia sama sekali tidak ingat apa-apa! Kini dia mulai menyesalinya. Hunter tadi memperingatkannya kalau dia akan menyesal begitu tahu siapa pelakunya.
Bagaimana dia bisa tahu kalau ternyata pelaku utamanya adalah dirinya sendiri?! Kenapa pula Stanley merekam percakapan mereka kemarin malam? Ini namanya pelanggaran HAM!
"Sekarang kau percaya padaku?"
Meisya ingin menenggelamkan dirinya hingga ke dasar laut mendengar suara penuh percaya diri pada Stanley. Dia terlalu malu dan tidak sanggup memandang ke arah Stanley.
Mulai sekarang dia harus berpikir ulang kalau Hunter memberinya peringatan. Meisya selalu berakhir di pihak sebagai korban penindasan jika tidak mengikuti peringatan pemuda ini. Dia mengingatkan dirinya sendiri.
"Dan sebagai tambahan.. kau duluan yang mengajakku menikah. Dan aku memutuskan untuk menerimamu."
Meisya ingin menangis. Kenapa Stanley malah memperjelas kenyataan memalukan ini??
Meisya melirik ke arah kertas perjanjian yang dipegang oleh Stanley. Berusaha tanpa kentara, Meisya mencoba mengambil kertas itu secara diam-diam.
"Kau mau apa?" sayangnya, Stanley menyadari tindakannya dan langsung mengangkat tinggi kertas putih berisi tujuh ketentuan yang mereka buat.
"Aku rasa.. aku berubah pikiran." ujar Meisya dengan tawa gugup sambil bangkit berdiri mencoba kembali merebut kertas tersebut.
Sebalnya, Stanley malah mengangkat tangannya lebih tinggi melebihi kepalanya. Meisya harus melompat beberapa kali untuk menggapai tangan Stanley. Sial bagi Meisya karena tubuh Stanley sangat tinggi sementara Meisya sendiri terlihat jauh lebih kecil dibandingkan pria itu.
Meisya cemberut dan mendelik ke arah Stanley dengan jengkel karena dia gagal mendapatkan kertasnya.
"Kau menindasku! Kau setuju tidak menindasku!"
"Eh? Perjanjian ini baru berlaku setelah kita menikah nanti. Sekarang kita belum menikah. Jadi aku bisa menindasmu sepuas-puasnya." ucap Stanley dengan nada jenaka, lalu berbalik masuk ke dalam kamarnya menghindari amukan Meisya yang tidak menentu. Dia tidak mau kalau Meisya berubah pikiran dan bersikeras membatalkan perjanjian nikah mereka.
"Hunteeeerr! Kau menyebalkan sekali!" gerutu Meisya dengan merajuk membuat Stanley tertawa geli.
"Ah, satu hal lagi. Namaku adalah Stanley. Mulai sekarang panggil aku Stanley." disusul dengan kedipan sebelah mata serta senyuman yang menggoda.
Tindakan Stanley yang sangat tidak lazim ini membuat Meisya mati kutu tidak bisa berkata apa-apa. Belum lagi jantungnya kembali liar serta panas kembali menjalari wajahnya.
Bahkan ketika Stanley sudah masuk ke dalam kamarnyapun, Meisya masih tampak tercengang dan tidak bergerak.
"Stanley." gumam Meisya dengan sangat pelan seolah memanjatkan doa.
Meisya memegangi kedua pipinya yang terasa panas. Entah kenapa hanya menyebut nama pria itu saja sudah membuat jantungnya berlonjak kegirangan.
Sementara itu Meisya sama sekali tidak tahu saat ini Stanley sedang bersiul senang sambil membaca surat perjanjian ketentuan pernikahan mereka.
Biar bagaimanapun, Stanley adalah pria normal. Jika dia menjalin hubungan spesial dengan wanita yang dikasihinya, dia pasti ingin menggandeng tangannya, atau menciumnya dan hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih.
Sekarang dia bisa menikah dengan wanita yang sudah memenuhi hati dan pikirannya. Tentunya tidak hanya sekedar menggandeng tangan atau berciuman, Stanley ingin melakukan lebih dari hal itu.
Membaca syarat ke dua dan tiga dari Meisya membuatnya hampir menangis dalam hati. Bagaimana bisa dia menahan diri untuk tidak menyentuh wanita itu? Apalagi istrinya. Pisah kamar? Pasangan suami istri mana yang tidur di kamar yang berbeda?
Sungguh sebuah persyaratan yang konyol sekali. Benar-benar sulit ditebak jalan pikiran gadis itu.
Namun Stanley tetap menyetujui semuanya. Bukankah Meisya menulis atas persetujuan pihak kedua? Stanley hanya perlu mendapatkan persetujuan dari gadis itu bila ingin memeluknya atau melakukan adegan intim lainnya.
Soal pisah kamar, dia juga bisa secara perlahan membujuk gadis itu untuk tidur bersamanya. Waktu yang mereka miliki sangat panjang untuk membuat wanita itu yakin akan perasaannya.
Perasaannya?
Stanley mendesah pelan.
Kemarin dia menyatakan perasaannya pada gadis itu, dan sesuai dugaannya.. Meisya sama sekali tidak mengingatnya. Stanley juga tidak berniat mengulangi ungkapannya.
Dia memutuskan akan menyatakan perasaannya di waktu yang tepat.