Setelah Satu Minggu
Setelah Satu Minggu
Meisya bahkan harus memastikan dirinya untuk tidak memasang ekspresi culun ketika Audrey sering berdebat dengan Selenka. Belum lagi Eleanor yang sering melerai mereka dengan suara khas seperti seorang ibu yang berusaha melerai kedua anaknya yang bertengkar.
Setelah seminggu mendengar tiga suara yang menyapanya tiap hari, Meisya mulai terbiasa. Dan dia juga agak sedikit terbiasa dengan mood Stanley yang masih sering berubah-rubah.
Kadang menjahilinya, kadang bersikap ramah kadang bersikap menyeramkan dengan menakut-nakutinya. Tentu saja Meisya lebih suka Stanley yang bersikap ramah dengannya. Tapi tampaknya pria itu lebih suka melihatnya frustrasi dengan menindasnya.
Padahal hari-hari pertama Stanley sering bersikap baik padanya. Tidak terlalu baik tapi setidaknya normal. Tapi entah kenapa makin hari pria itu makin suka menindasnya.
Seperti saat mereka sedang berjalan di sebuah kerumunan, tiba-tiba saja Stanley meninggalkannya seorang diri. Meisya yang tidak punya hape ataupun uang nyaris putus asa setelah menunggu kedatangan Stanley selama lebih dari dua jam sebelum Angel muncul secara kebetulan sebagai penyelamatnya.
Atau ketika mereka belum makan siang, Stanley sama sekali tidak mengajaknya makan ataupun memesan delivery. Bahkan persediaan bahan makanan didalam kulkas juga kosong sehingga tidak ada satupun yang bisa dijadikan cemilan untuk menunda rasa laparnya. Meisya bahkan memancingnya dengan bertanya apa pria itu tidak merasa lapar.
"Aku sama sekali tidak lapar. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku." itulah jawaban Stanley yang malah membuatnya semakin frustrasi.
Meisya sengaja bertanya agar pria itu sadar bahwa dirinyalah yang sedang kelaparan!
Jika seandainya Meisya memiliki uang sendiri, jika seandainya Meisya sudah menghapal jalanan disekitar mereka, Meisya akan membeli makanannya sendiri di luar.
Kini Meisya mulai terbiasa dengan kebiasaan pria gila ini yang hobinya adalah menindasnya. Jika mood Stanley mulai kumat, Meisya tidak akan menghiraukannya dan akan mengurung diri didalam kamar seharian. Tapi kalau tidak sedang kumat, Meisya baru mau keluar dan berbincang lagi dengan Stanley.
Intinya, Meisya tidak mau berkomunikasi dengan Stanley disaat mood pria itu yang ingin menindasnya mulai kambuh.
Mungkin Stanley juga menyadarinya jadi dia selalu bersikap sangat baik padanya selama dua hari terakhir ini. Stanley tidak banyak bicara, tapi selalu bersabar dan menemaninya kemanapun dia mau.
Sayangnya... dibalik semua kesabaran dan kebaikan seorang Stanley, ada sebuah rencana tersembunyi dan Meisya sama sekali tidak mengetahuinya.
Malam itu entah kenapa ada pengumuman mendadak ada perbaikan listrik yang mengharuskan memadamkan listrik satu wilayah. Karena itu Meisya makan di luar ditemani Stanley tanpa curiga apapun.
Setelah makan dengan kenyang, keduanya berjalan kaki kembali ke apertemen dengan santai. Karena listrik masih padam, mereka harus naik melalui tangga.
Meisya yang tidak biasa menaiki banyak tangga mulai merasa lelah dan sering beristirahat di tengah-tengah untuk mengambil napas.
"Ayo cepat. Kalau tidak aku tinggal sendirian lo." tentu saja Stanley tidak membuang kesempatan ini untuk menindasnya lagi.
Meisya hanya menggigiti bibir dengan frustrasi sadar mood gila pemuda ini kambuh lagi. Jadi dia memaksakan diri untuk berjalan dan menaiki anak tangga tersebut hingga akhirnya tiba di lantai tempat tujuan mereka.
Ketika memasuki rumahnya, sepanjang yang Meisya lihat adalah hitam, gelap. Meisya memang tidak takut gelap. Tapi tinggal di tempat ini sudah membuatnya terbiasa dengan suara berisik seperti perdebatan antara Selenka dengan Audrey.
Begitu listrik padam, tidak ada suara apa-apa membuatnya agak resah. Dia memutuskan untuk diam dan masuk ke kamarnya hingga besok pagi. Setidaknya dia ingin kabur dari mood Stanley yang ingin membulinya.
Namun saat dia hendak berjalan pelan-pelan menuju ke kamarnya, Stanley memperingatinya dengan nada serius yang tidak dimengertinya.
"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan masuk ke kamar dulu." itu yang dikatakan Stanley.
Tapi Meisya tidak menurutinya dan tetap berjalan hingga tiba di depan pintu kamarnya. Ketika Meisya membuka pintu kamarnya, Stanley menutup kedua telinganya dan...
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!"
Meisya langsung berlari mencari pintu utama agar dia bisa keluar dari ruangan gelap ini. Namun karena gelap dan jarak antara kamar dengan pintu keluar cukup jauh, Meisya sering menabrak sesuatu ditengah pelariannya.
Pada akhirnya Meisya tidak kuat akan sakit yang dirasakan di lututnya saat menabrak suatu benda padat seperti meja atau lemari yang tidak bisa dilihatnya dalam gelap sehingga dia hanya duduk berjongkok sambil berlinang air mata.
Apa yang dilihatnya didalam kamarnya sangat menyeramkan. Sebuah tengkorak manusia tiba-tiba jatuh dari atas belum lagi ada sinar sorot lampu yang memfokuskan tengkorak itu persis dihadapannya. Ditambah ada sebuah golok yang bergerak-gerak melayang di udara seolah ingin menghunus dadanya membuat jantungnya tidak kuat karena saking takutnya.
Meisya tidak pernah melihat pemandangan yang menakutkan seperti itu. Dia bahkan tidak suka melihat film barbau horor atau mistis. Dan sekarang dia harus melihatnya secara langsung... dalam keadaan gelap pula!
Meisya nyaris membiarkan tangisannya menguasainya saat mendengar suara gelak tawa dari seseorang.
Hunter tertawa... menertawakannya?!
Meisya tidak jadi menyuarakan tangisannya. Dia membiarkan air matanya keluar tapi dia tidak membiarkan suara isakannya terdengar.
"Aw.. apakah kau setakut itu?" tanya Hunter sama sekali tidak berniat menyembunyikan nada jenakanya. "Kau menangis?"
"Aku tidak menangis!" desis Meisya tanpa menghapus air matanya karena yakin Stanley tidak bisa melihat air matanya dalam kegelapan.
"Kalau begitu kenapa ada air mata di pipimu?"
"Bohong! Tidak ada air mata di pipiku!" Meisya segera menghapus air matanya dipipinya yang terasa basah.
"Lalu kenapa kau menghapus air matamu?"
"..." Meisya menegang mendengarnya. Bagaimana pria ini bisa tahu? Apakah Stanley bisa melihatnya? Didalam gelap seperti ini? Bahkan Meisya sendiri tidak bisa melihat apa-apa disekitarnya, lalu bagaimana Stanley bisa melihatnya?
"Ka..kau bisa melihatku?"
Stanley tertawa mendengar pertanyaannya. Yang sebenarnya dia sama sekali tidak bisa melihatnya, tapi Selenka bisa melihat keadaan Meisya dengan jelas dan diam-diam memberitahunya. Tentu saja Stanley menyembunyikan kenyataan ini dari Meisya.
"Aku bisa melihatmu dengan jelas. Hidungmu merah."
Meisya terpaku pada tempatnya dan terkesiap kaget saat merasakan sesuatu besar menangkup sebelah pipinya. Entah kenapa jantungnya berdegup kencang saking takutnya. Kenapa dia merasa seperti sedang syuting film horor? Dia tidak bisa melihat apa-apa tapi lawan bicaranya bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan ada sesuatu yang menempel di pipinya.
Dia tahu yang menyentuh pipinya saat ini adalah tangan pria itu, tapi tetap saja dia tidak bisa mengelak perasaan dia sedang disentuh oleh hantu yang menyeramkan.
"Kau benar-benar menangis? Pipimu basah sekali."
Satu kali.. dua kali... Meisya mengerjap beberapa kali untuk mengerti arti kalimatnya.
Jadi yang sebenarnya Stanley tidak bisa melihatnya tapi hanya menerka-nerka apa yang sedang dilakukannya? Dan kebetulan saja tebakan pria itu memang benar apa yang dilakukannya.
Merasakan elusan lembut dari ibu jari yang menghapus sisa-sisa air mata di pipinya tidak membuatnya tenang. Justru sebaliknya, Meisya malah semakin marah.
Meisya menggenggam tangan pria itu lalu menariknya dari pipinya sebelum membawanya ke arah mulutnya untuk... digigitnya sekuat tenaga.
"..."
"..."
Klik! Tiba-tiba saja lampu di dalam rumah mereka menyala dengan terang. Dan kini terlihat jelas Meisya duduk di atas lantai dengan masih menggigit tangan Stanley yang kini berjongkok didepannya.
Kedua alis Stanley bertautan merasa perih pada tangannya. Namun dia tidak menarik ataupun melawan. Dia membiarkan Meisya menggigitnya dengan sekuat tenaga.
Meisya yang mulai merasa sakit pada rahangnya mengendurkan tekanannya sebelum melepas tangan Stanley yang kini agak sedikit berdarah karena gigitannya.
Seketika Meisya merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. Pasti sakit sekali. pikir Meisya dalam hati.
"Maaf. Apakah sakit?"
"..."
Untuk beberapa saat tidak ada yang bersuara. Keduanya hanya saling memandang dalam keadaan diam seolah terhanyut akan satu sama lain.
Lalu Stanley mengulas senyum lebar yang tampak ramah di depan mata, tapi Meisya merasa bulu kuduknya berdiri mulai mengerti arti senyuman palsu yang ditunjukkan pemuda itu.
"Aku ingin sekali membunuhmu." ungkap Stanley tanpa ragu dengan mata tertuju padanya dengan tajam.
Meisya menelan ludahnya dengan susah payah. Dia sadar dia telah bertindak keterlaluan. Tidak seharusnya dia menggigit orang ini. Tidak seharusnya dia menyinggung orang ini. Biar bagaimanapun, orang ini yang menculiknya. Meskipun Stanley mengaku dia adalah penyelamatnya, tidak memungkiri kenyataan bahwa nyawa dan kebebasan Meisya ada dalam tangan orang ini.
"Aku hanya bercanda. Tidak perlu takut seperti itu. Selamat malam."
Meisya tidak bergerak selama beberapa menit berusaha mencerna kalimat Hunter barusan. Bercanda? BERCANDA?! Jelas sekali nada suaranya terdengar sangat serius saat mengatakan ingin membunuhnya.
Dan sekarang pria itu berkata dia sedang bercanda?!
Meisya melirik ke arah kamar Stanley dengan tatapan membunuh. Jika seandainya orang bisa mati hanya melalui tatapan saja, Stanley saat ini sudah pasti dijemput maut karena tatapan Meisya yang berkobar-kobar karena marah.
Lagipula, sedari awal Meisya marah padanya karena orang itu memasang lelucon buruk didalam kamarnya. Awalnya bukan salah Meisya seorang! Kenapa Stanley bersikap seolah-olah Meisya yang menindas sementara Stanley adalah korbannya?
Detik berikutnya Meisya teringat sesuatu. Bagaimana dia bisa tidur malam ini kalau di kamarnya ada benda mengerikan itu?
Sekali lagi air mata Meisya keluar tanpa diperintahnya.
"Hunter, kau benar-benar kejam. Aku membencimu!" desis Meisya tajam.
Stanley hanya tersenyum miring mendengar ungkapan Meisya melalui headphone bluetoothnya.
"Aku tidak mengharapkanmu menyukaiku." balas Stanley sinis yang pastinya tidak bisa didengar Meisya.