Pecah
Pecah
Apakah mungkin umbranya? Tidak mungkin. Sudah lebih dari empat tahun dia tidak bertemu dengan umbranya.
Semenjak dia diterima kontrak di agensinya yang sekarang, umbra tidak pernah muncul lagi dihadapannya. Sesekali umbra akan menghubunginya melalui chat atau voice call. Dan terakhir kali mereka berkomunikasi disaat umbranya mengatakan dia akan mengunjungi Jerman dan itu adalah empat tahun yang lalu.
Dua hari yang lalu umbranya memberitahunya dia sudah berada di dalam pesawat menuju New York.
Apakah mungkin umbra sudah tiba dan langsung mengunjunginya?
Katie tetap memejamkan matanya menikmati elusan di kepalanya lebih lama. Sudah lama sekali dia tidak merasakan elusan di kepalanya. Hanya saja ada yang berbeda dengan elusan itu namun Katie tidak memperdulikannya.
Berikutnya dia merasakan dahinya dicium ringan. Oh? Tumben sekali umbranya mencium dahinya.. kemudian pipinya? Tanpa melepaskan ciumannya, bibir umbra bergeser ke bawah menuju sebelah bibirnya yang membuat Katie tersontak kaget.
Katie langsung mendorong bahu umbranya dengan satu hentakan keras membuat umbra terjatuh dari ranjang dan segera bangun dari tidurnya.
Saat itulah dia sadar dia tidak berada di dalam kamarnya. Ini bukan kamarnya.. ini bukan rumahnya!! Dimana dia? Lalu siapa yang berani menciumnya tadi?
Katie segera menatap ke arah 'pelaku' dengan tatapan membenci yang disusul dengan rasa terkejut yang besar.
"Aiden? Apa yang kau lakukan?" Katie bergerak kesamping menjauhi Aiden dengan sangat perlahan.
Dia mendengar pria kurang ajar itu mendesah. "Aku sama sekali tidak menyangka kau memiliki tenaga yang besar. Membuatku ingin mencicipimu di ranjang."
Mata Katie semakin melebar mendengarnya dan dia langsung memutar tubuhnya dan beranjak dari ranjang. Kini posisinya berhadapan dengan Aiden yang sudah bangkit berdiri dengan ranjang yang memisahkan keduanya.
Matanya berkeliaran memeriksa isi kamar hingga akhirnya dia menemukan sebuah pintu yang diduganya adalah pintu keluar.
"Dimana ini?" tanya Katie tanpa menurunkan kewaspadaannya.
"Ini tempatku." Aiden bergerak kesamping. Firasatnya mengatakan Aiden hendak berjalan menghampirinya.
Dengan cepat matanya melirik ke sebelah meja disampingnya untuk mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membela diri.
"Dan kenapa aku bisa disini? Bukankah kita dalam perjalanan pulang?" Katie berjalan mundur hingga punggungnya membelakangi sebuah meja yang diliriknya tadi.
Sebelah tangannya bergerak kebelakang dan mengambil pulpen yang dilihatnya.
"Benar, kita dalam perjalanan pulang. Dan aku membawamu pulang ke rumahku. Apa ada yang salah dengan itu?"
Jantung Katie berdebar ketakutan menyadari jarak antara Aiden dengannya semakin mengecil. Sebenarnya apa yang diinginkan pria ini?
"Kau masih bertanya? Aku akan membencimu seumur hidupku jika kau tidak membiarkanku pulang."
Aiden tertawa dengan sangat mengerikan. Katie tidak pernah melihatnya tertawa seperti ini. Apakah ini benar Aiden yang dikenalnya? Ekspresi Aiden saat ini sama sekali tidak lembut seperti yang selama ini ditunjukkannya. Aiden menyeringai seperti orang jahat yang berhasil menangkap targetnya.
"Aku tidak peduli kau membenciku. Saat ini aku hanya menginginkan satu hal." Aiden melepas kancing bajunya dari atas hingga ke bawah sambil melangkah ke arah Katie.
Katie semakin panik melihatnya dan langsung bergerak mengarahkan pulpen yang digenggamnya ke arah tubuh Aiden. Semula Aiden terkejut dengan serangannya, namun berhasil menghindar dan memiting sebelah tangan Katie ke belakang punggung Katie. Sementara tangannya lain menekan tubuh Katie ke tembok dengan kasar.
Katie tidak menyerah begitu saja, dia mengangkat sebelah kakinya dan menekan tembok sekuat tenaga mendorong tubuhnya sekaligus tubuh Aiden kebelakang. Begitu tangannya bebas, Katie mengepalkan tangannya dan meninju bagian perut Aiden seperti yang diajarkan umbranya.
Untungnya Katie sempat dilatih umbranya untuk berjaga-jaga jika dia bertemu dengan preman atau pria yang berusaha melecehkannya. Ada sedikit perasaan lega menyadari Aiden tak bergerak setelah menerima tinju dari tangannya.
Tanpa membuang waktu lagi, Katie segera berlari ke arah pintu untuk melarikan diri. Setelah ini dia tidak akan pernah mau bertemu dengan Aiden lagi.
Namun langkahnya terhenti begitu pintu terbuka. Bukannya maju kedepan keluar kamar justru sebaliknya. Kaki Katie melangkah mundur dan dia menjerit dalam hati saat mendengar tawa Aiden yang terkesan meledek. Apakah pria itu hanya berpura-pura pingsan?
Belum lagi dihadapannya kini ada empat pria bertubuh kekar melangkah masuk ke dalam.
Itu sebabnya dia tidak bisa kabur. Dia tidak bisa melangkah keluar dari kamar ini karena keempat pria itu menghalangi jalannya dengan ekspresi yang menyeramkan.
"Menarik sekali. Aku sama sekali tidak menyangka gadis lemah sepertimu sempat belajar ilmu bela diri huh? Sayangnya, persiapanmu kurang matang. Kau pikir pukulanmu bisa menumbangkanku begitu saja?"
"Kenapa kau melakukan ini? Apa yang sudah kulakukan sehingga kau tega melakukan ini padaku?"
"Kau tidak melakukan apa-apa cantik. Hanya saja kebetulan sekali kau terlibat dalam rencanaku. Hanya kau satu-satunya yang bisa memancingnya keluar tanpa membuat penjaganya curiga."
Memancingnya keluar? Siapa? Siapa yang dimaksudnya? Kemudian Katie menyadari sesuatu dan dia menjadi sangat marah. Apakah itu berarti Aiden menculiknya untuk menjadikannya umpan?!
"Tadinya kupikir jika kau mau tidur denganku, aku akan menggunakan cara lain. Lagipula aku cukup menyukaimu. Tapi sayang sekali... aku sudah tidak lagi menginginkanmu. Aku memperlakukanmu dengan sangat baik, tapi kau malah menyerangku. Ckckck.. kau harus dihukum." Aiden tersenyum miring di kalimat terakhirnya. "Dia milik kalian."
Dan kalimat itu membuat Katie merasa ngeri. Apalagi disaat dia melihat wajah keempat pria tak dikenalnya kini dipenuhi dengan nafsu.
Mata Katie berkaca-kaca dan kemudian tanpa sadar memanggil nama pria itu.
"Aiden.. kumohon..." isak Katie dengan suara memilukan. Bahkan Katie membenci dirinya sendiri karena masih saja mengharapkan belas kasihan dari orang itu.
Tapi... tidak ada lagi yang bisa dia andalkan. Dia hanya mengandalkan persahabatannya dengan Aiden. Dia hanya mengandalkan ingatannya dimana Aiden selalu tersenyum ramah dan bersikap sangat baik terhadapnya.
"Tenang saja. Aku tidak akan membiarkan mereka membunuhmu. Kau adalah umpanku yang berharga." ucap Aiden dengan nada ceria namun tatapan dingin sangat kentara di matanya.
Harapan Katie bahwa masih ada kebaikan pada Aiden sirna begitu Aiden keluar dan mengunci pintu kamarnya dari luar.
Katie terpaku pada tempatnya berdiri. Dia masih tidak percaya dia nyaris memberikan hatinya pada pria brengsek itu. Dia masih tidak percaya dengan bodohnya dia menurunkan pertahanannya dan membiarkan pria itu menjebaknya.
Hati Katie terasa pedih. Disaat dia sudah selesai mengubur perasaan baru terhadap anak lelaki berambut merah; disaat dia ingin mencoba mencintai Aiden, pria itu malah mengkhianatinya dengan cara yang kejam. Pria keji itu malah melemparnya ke dalam kuasa empat anak buahnya.
Benci. Ada perasaan kebencian yang sangat kuat didalam dirinya. Sudah lama Katie tidak merasakan emosi sebesar ini.
Dan saat dia merasakan pinggangnya dirangkul oleh salah satu orang menjijikan ini, Katie lepas kendali.
Dia menggunakan semua jurus yang pernah diajarkan umbranya untuk menghajar keempat orang itu. Katie tidak berhenti memberontak dan menyerang keempatnya. Katie juga menggunakan kuku panjangnya untuk mencakar wajah mereka yang membuat mereka semakin marah.
Seandainya.. jika seandainya lawannya hanya satu orang, Katie mungkin bisa menang. Tapi, lawannya ada empat orang. Belum lagi, dia merasa semakin tak berdaya saat mereka mengeluarkam pisau kecil di kantong celana mereka.
Mereka berusaha menyentuhnya, menangkapnya dan Katie terus memberontak, menyerang mereka. Hingga akhirnya mereka melukai Katie dengan pisau mereka.
Sakit. Itulah yang dirasakan Katie. Baik tangan, leher, siku dan bagian tubuhnya yang terkena sayatan pisau terasa sangat menyakitkan.
Jika Katie yang dulu, dia pasti akan menangis sekeras-kerasnya. Tidak. Saat ini dia juga ingin menangis karena tidak bisa menahan rasa perih di luka tubuhnya.
Tapi.. dia bertahan dan berusaha tidak menangis. Karena dia tahu, begitu dia menangis dia akan kalah dan pasti akan diperkosa oleh keempat orang barbar ini.
Sayangnya.. keempat orang itu malah terlihat bersenang-senang. Mereka justru menyibukkan diri untuk menorehkan luka pada tubuh Katie dengan pisau mereka.
Darah banyak keluar dan Katie hampir mencapai batasannya. Kepalanya pusing karena terlalu banyak luka dan darah yang keluar dari tubuhnya. Untuk sesaat dia lengah tak bergerak. Dia memekik ketakutan saat tubuhnya terdorong kebelakang dan terjatuh di atas ranjang.
Katie tidak memiliki tenaga lagi untuk bangkit membuat seseorang menggunakan kesempatan ini dengan menahan kedua tangannya diatas kepalanya. Sementara dua orang lain mulai mengangkat terusan Katie ke atas.
Dia merasakan empat tangan meraba kakinya menuju ke atas membuatnya tidak kuasa menahan tangisannya.
"Jangan.." isak Katie dan air matanya mengalir dengan deras.
Keempat orang itu malah tertawa mendengar suaranya yang menyedihkan.
Kenapa? Kenapa dia harus mengalami kejadian mengerikan ini?
Seseorang, tolong aku. Umbra, tolong aku. Jerit Katie dalam hati.
Katie sama sekali tidak sadar, bola kaca yang menahan energi kehidupan didalam dirinya berguncang dan mulai muncul beberapa retakan disekitarnya.
Dan ketika seseorang menurunkan celana dalamnya, Katie berteriak dengan histeris menyebabkan bola kristal pecah dan cahaya berwarna kuning keemasan bersinar dengan sangat terang.
Hanya dalam hitungan detik empat orang yang menindih tubuhnya terpental menabrak dinding dan perabotan didalam kamar.
Katie bangkit berdiri dan dia berhenti menangis. Dia menaikkan kembali celana dalamnya dengan tatapan kosong. Katie yang sekarang bukanlah Katleen yang biasanya seakan-akan ada yang mengendalikan tubuhnya.
Warna matanya tidak lagi bewarna coklat, tapi kembali bewarna kuning yang semakin lama semakin ke arah merah. Hingga disaat warna matanya dipenuhi dengan warna merah seperti darah, Katie menegakkan kembali tubuhnya. Disaat bersamaan empat orang yang sempat tumbang tadi bangkit berdiri dan kembali menyerang Katie.
Seketika luapan emosi yang dulu pernah dipendamnya meluap sekaligus. Katie mengepalkan kedua tangannya dan kembali berteriak sekencang-kencangnya meluapkan semua emosi yang dirasakannya. Teriakannya menimbulkan sebuah gelombang tajam yang mencabik-cabik tubuh empat penyerangnya.
Di saat yang sama, awan berubah menjadi gelap dan ada badai berhembus dengan kencang. Aiden juga melihat perubahan cuaca yang drastis ini dan merasa terheran. Belum lagi dia bisa mendengar suara teriakan yang sangat keras dari dalam kamar tempat dia mengurung Katie.
Tidak lama kemudian, badai kembali tenang dan awan gelap memudar. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya dan entah kenapa firasatnya memgatakan ada masalah dari arah kamar kamar Katie.
Aiden segera kembali menuju ke kamar dimana dia mengurung gadis itu dan membuka kuncinya.
Matanya membelalak apa yang terjadi di dalam kamar itu. Seluruh benda hancur berantakan dan berserakan. Tempat ini seperti habis dilanda angin topan.
Dia juga menemukan empat anak buahnya berbaring tak bernyawa dengan goresan benda tajam di tubuh mereka. Namun yang membuat mereka kehilangan nyawa adalah goresan dalam pada tenggorokan mereka.
Apa yang terjadi?
Aiden melangkahkan kakinya masuk lebih ke dalam dan disana dia melihat Katie berjongkok dengan kepala tertunduk.
"Katleen?"
Yang dipanggil mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Kemudian secara perlahan kelopak matanya tertutup dan Katie berbaring tak sadarkan diri.
Aiden merasa yakin dia sempat melihat mata merah Katie. Mata yang sangat tidak biasa. Dengan pandangan curiga, Aiden berjongkok dan mengusap rambut Katie dengan sekali usapan.
Dia menatap tangannya yang baru saja mengusap rambut Katie dengan ngeri. Warna coklat yang seharusnya menghiasi di rambut Katie kini berpindah di telapak tangannya seperti sebuah cat kering yang rontok.
Aiden membersihkan rontokan cat coklat kering dari seluruh rambut Katie. Dan kini dia melihat warna merah seperti wine pada rambut Katie.
Untuk pertama kalinya sepanjang ingatannya, Aiden merasa takut.
"Raja merah? Bagaimana mungkin?"